Cari Blog Ini

Minggu, 03 Oktober 2010

Tapos Okt

"Bukan Gurita Cikeas"






Redaksi:
Dewan RedaksiProf. Dr. Mohd. Askin, SH, MH, Dr. Mohd. Sabri, AR. M. A, Prof. Dr. Muh. Jufri, M. Psic, Hj. Bau Ratu SalehPimpinan Umum/Pimpinan Redaksi: M. AlwiStaf Redaksi: Andi Syahruni, Apri Pratama, Abdul Jabbar ; Koordinator LiputanMuhammad Suaib RewataTim Peliput:  Salman, H. Ahmad, Ilyas, Amin Munandar, Rahmatia, Suniman, Dedy, Muh. JufriSirkulasi dan Keuangan: Raja Bulan HaiyungPenerbit : Yayasan Lembaga Study dan Pemberdayaan Masyarakat (LESDAM) Kabupaten Maritim Selayar Propinsi Sulawesi Selatan
Pengantar Redaksi
Bismillah. Sejak lama Selayar membutuhkan media lokal yang independent. Diawal tahun 2000an Tanadoang Pos pernah hadir namun dalam waktu yang tidak lama tiba-tiba hilang dari peredaran. Setelah “wafatnya” Tapos dimasa lalu, bermunculan media lokal yang lain namun akhirya tetap bernasib sama “wafat”. Faktor pertama dapat dipastikan faktor menejmen, sumber daya manusia dan biaya terbit atau keuangan. Disamping itu apresiasi pemerintah daerah yang “kurang memberi ruang” juga Tapos sebagai media pencerdasan bagi masyarakat dan kontrol sosial belum sepenuhnya bisa diterima masyarakat.
Kini kami hadir dengan nama lama Tabloid “Tanadoang Pos”dan motto lama “Suara Rakyat Selayar”. Nama dan Motto yang dihadirkan kembali sebagai reinkarnasi utuh sebuah idealisme.
Apa yang kami suguhkan edisi ini, adalah refleksi ‘suara rakyat Selayar’ dari berbagai sudut pandang. Meski dipastikan lebih banyak yang tidak terliput karena alasan teknis dan ruang yang tersedia sangat terbatas, namun demikian kami tetap menjamin orisinalitas berita yang kami suguhkan; tanpa interpertasi apalagi mengarahkan narasumber, selain informasi seputar Selayar, shearing wawasan dari berbagai sumber kami suguhkan pula lewat rubrik Opini dan rubrik lainnya yang tidak hanya menceritakan peristiwa tertentu, tapi juga memberi informasi yang mengandung ilmu, gagasan, wawasan dan pengalaman penulis atau nara sumber.
Menyadari keterbatasankami terkait hal normatif sebagai media lokal yang serba terbatas, dengan segala kerendahan hati kami memohon kepada pembaca yang budiman memberi dukungan kepada media tercinta ini dalam bentuk berlangganan, memasang iklan dan lain sebagainya, yang dapat menjamin kesinambungan penerbitan Tabloid Tanadoang Pos “Suara Rakyat Selayar”, tanpa kami “menggadaikan idealisme pers” sebagai Sumber informasi dan kontrol sosial.
Jauh dikedalaman hati kami ‘segenap kerabat kerja; atasnama Dewan Redaksi, Pimpinan Redaksi beserta Staf, para peliput dilapangan menyampaikan salam hangat penuh cinta’, kepada para pembaca yang budiman, semoga kehadiran kami kembali dapat diterima dengan ikhlas danlapang dada.
Salam.
Surat Dari Pembaca
Kansiman & Pertanggungjawaban Publik
Yth. Redaksi Tapos. Lewat Surat dari pembaca Tapos saya ingin mengucapkan selamat kepada pasangan terpilih Buputi/Wakil Bupati Selayar Periode 2010-2015. Besar harapan saya kepada pak Bupati yth segera menyingkirkan pejabat-pejabat yang tidak profesional dibidangnya lebih-lebih mereka yang kurang bertangngungjawab dalam jabatan struktural yang diamanatkan kepadanya. Sebab menurut penilaian kami para pejabat yang ada saat ini lebih banyak yang tidak profssional, taunya hanya menjilat dan nyetor muka. Seperti Dinas Kansiman yang mengurusi pelayanan Publik secara langsung. Nampaknya persampahan kota yang kian hari-kian membutuhkan keseriusan, tidak mendapat perhatian dan penanganan propesional, justru mobil angkutan sampah yang seharusnya dipakai mengangkut sampah justru dipakai mengangkut kayu, tentu saja dengan tarif tertentu. Ditambah lagi dengan TPA (tempat pembuangan akhir) yang bertempat di Kaburu desa Jambuiya adalah terlalu dekat dengan pemukiman penduduk (tidak memenuhi persyaratan), sehingga kalau ada hajatan atau pesta di kampung, lalat yang berasal dari TPA juga ikut berpesta memenuhi hidangan yang disediakan. Bukan hanya itu buangan sampah yang terburai sampai ke badan jalan ruas Kaburu-Parak. Padahal samping kiri kanan jalan Pakar (Parak-Kaburu) dimasa pemerintahan Akib Patta dipersiapkan untuk area AgroWisata perkebunan jeruk, kini menjadi Tempat Pembuangan sampah yang jorok.Sangat ironi memang penempatan pejabat bukan hanya dituntut dari mereka yang propesional di bidangnya, tapi lebih dari itu tanggungjawab moral sebuah jabatan lebih dipentingkan pula. Terima kasih atas dimuatnya tulisan ini. Wassalam.
Alamat dan Identitas ada pada redaksi.
Tajuk
Feodalisme dan Fir’aunisme
Indonesia sebagai negara demokrasi adalah negara yang dibangun dari sisa peninggalan sistem feodalisme kerajaan-kerajaan Nusantara, bukan hanya itu, feodalisme sejati yang tertanam kuat dalam karakter bangsa inipun dijajah oleh Bangsa “Feodal” yang juga mengaku “Demokratis” yaitu Belanda dan Jepang.
Sejak awal berdirinya Republik yang kita Cintai ini oleh Founding father kita Soekarno-Hatta telah menancapkan pilar demokrasi sebagai bentuk dan roh pemerintahan. Tersebutlah Soekarno, Soeharto sebagai presiden yang memiliki kesempatan berkuasa cukup lamapun akhirnya menunjukkan “karakter” aslinya, yaitu berupaya sampai titik darah penghabisan mempertahankan kekuasaannya bahkan berupaya mewariskan kekuasaannya kepada kerabat terdekatnya (anak, menantu, ipar dan lain-lain) dan inilah sejatinya “Feodalisme”, kalau saja ucapan dan kata-katanya adalah undang-undang maka jadilah Feodalisme-Monarchi yang otoriter.
Lalu “wahyu” dari mana datangnya hingga Demokrasi menjadi dewa baru yang begitu dipuja dan diagungkan oleh para penyelenggara negara kita, meski tabiat dan sifat dasar mereka adalah memiliki karakter dan sifat raja yang “Feodal”? ternyata Demokrasi yang kita kenal ini adalah konsepsi ketatanegaraan dari jaman Socrates yang menjadi lawan atau kebalikan dari Feodalisme.
Dari fakta yang kita temukan tersebut dapat disimpulkan bahwa feodal atau feodalisme dari sisi psikologis dapat dipahami segai tabiat dasar manusia yang ingin merebut otoritas ketuhanan, Tabiat yang memasuki “otoritas Tuhan” ini adalah sesuatu yang diharamkan dalam agama.
Meskipun Feodalisme adalah tabiat dasar manusia yang cenderung mengkarakter pada tiap-tiap penguasa (besar dan kecil) namun haruslah menjadi musuh bersama, diperangi dan diberantas.
Perang terhadap feodalisme adalah perang panjang sejak awal peradaban manusia hingga saat ini, Kulminasi dan puncak sifat feodalisme adalah mengaku menjadi Tuhan seperti fir’aun Laknatullah. Fir’aun mengangkat diri menjadi Tuhan karena kekuasaan yang sangat besar dan tidak ada perlawanan Politik dari rakyat. Kekuasaan tanpa kontrol, tak terkontrol atau tidak mau dikontrol adalah kekuasaan yang mencirikan kekuaasaan dan pemerintahan “Fir’aunisme simbol tertinggi feodalisme”, meskipun dalam riwayat kesejarahannya Fir’aun bukanlah turunan Raja yang berdarah biru. Dia adalah orang biasa yang merebut kekuasaan secara culas, lalu menjadi raja dan memper-Tuhankan diri sendiri.
Fir’aun terhadap lawan politik yang selevel atanpun mantan kolega yang menjadi pesaingnya sudah di-almarhumkan terlebih dahulu, setelah semua beres tak tersisa maka giliran berikutnya adalah membunuh cikal-bakal semua calon lawannya, maka dalam kekuasaannya tersebutlah masa pembunuhan bayi laki-laki yang baru lahir, karena dikhawatirkan akan merebut kekuasaannya pada saat dewasa nantinya’
Sifat tambahan seorang Fir’aunis adalah apriori terhadap kritik dan sorotan dari pihak lain. Tersebutlah Masyita pegawai fir’aun yang bertugas menyisir rambut anaknya digoreng hidup-hidup bersama bayinya di dalam kuali yang mendidih oleh Fir’aun karena mendapat laporan dari anaknya, “bahwa Masyita sang Pegawai Istana menyebut nama Allah ketika sisirnya terjatuh secara tidak sengaja”. Inilah ideologi fir’aun yang pantang diduakan dalam kekuasaan. Anak, istri, menantu, kroni dan jaringan politiknya tidak segan-segan melapor ke Fir’aun jika ada indikasi lawan politiknya akan membahayakan dan menyaingi kekuasaan sang Fir’aun. NAUDZU BILLAH...
Permisi!
Mimbar Demokrasi
Bukan “Gurita Cikeas”
Oleh: Abdul Halim Rimamba *)
Masih terngiang dalam benak kita ketika media cetak dan media elektronik marak memperbincangkan sebuah buku George Ady Condro seorang pakar ilmu korupsi di lingkup istana yang berjudul “Gurita Cikeas”. Kemunculan seorang George Ady Condro selalu mengundang kontroversi dan simpati publik, betapa tidak dengan kepiawaiannya menulis dan mengumpul sejumlah tulisan dan analisis tajam, bagaimana keluarga dilingkungan presiden SBY menggeliat membangun kerajaan bisnis baru, disokong oleh sejumlah pengusaha dan “konglomerat hitam”. Tak pelak lagi perhatian publik tertuju kepada sang pakar korupsi lingkungan istana kepresidenan tersebut. Belum surut pemberitaan tentang buku Gurita Cikeas, tiba-tiba di alun-alun rumah jabatan Bupati Kepulauan Selayar muncul Gurita besar dalam wujud patung Gurita bercat hitam. Ini tentu tidak ada hubungannya dengan Gurita Cikeasnya George Ady Condro, namun tentu ornamen dan hiasan istana ‘Gedung Putih’ Rumah Jabatan Bupati Selayar ini mengingatkan kita, betapa simbol Gurita versi George ini adalah mahluk yang memiliki tabiat predatorism terhadap semua jenis mahluk disekitarnya.
Kemungkinan patung Gurita yang dicat hitam oleh pembuatnya ingin menyuguhkan berita bahwa laut Selayar yang begitu kaya dengan berbagai mahluk hidup untuk kesejahteraan sekaligus menawarkan keindahan seekor gurita yang tidak selamanya bengis dan predator terhadap sesama penghuni bawah laut. Dalam mitos masyarakat Selayar, gurita dilambangkan sebagai simbol mahluk buas yang acap kali menenggelamkan kapal-kapal nelayan diperairan Selayar. Kalau gurita sebagai simbol politik dalam bingkai kekuasan pemerintahan Selayar, secara psikologis tentu amat mengerikan; betapa tidak, “tabiat” seekor gurita dalam legenda orang Selayar adalah mahluk berbahaya yang menakutkan, meski dalam realitasnya
gurita-gurita kecil mendiami sela-sela karang dangkal di laut Selayar adalah tidak berbahaya, sebagaimana bahaya Gurita Cikeas yang siap ‘mengangkangi’ Indonesia.
Fenomena gurita dalam filosofi kontemporer para politisi akan selalu ada meski tidak dimonumenkan dalam bentuk patung seperti apa yang ada di halaman rumah jabatan bupati Selayar.
Tidak ada hubungannya Gurita Cikeas dengan Patung Gurita ‘hitam’ di depan rumah jabatan bupati, karena memang “bukan Gurita Cikeas”.
Tidak ada politik “menghabisi” lawan politik! Karena Selayar hanya wilayah kecil yang masih berbenah dari kemelaratan dan ketertinggalan segala bidang. Meski kesadisan politik dalam terminologi bahasa tak lebih dari kata ‘resiko kecil’ alias implikasi sebuah proses politik.
Mari menilik kebelakang, sekilas Proses Pemilukada 2010 di Selayar: Para kompetitor “kekuasaan” saling mencengkeram laksana “Gurita” sang predator,
Syahrir Wahab pamong senior di pentas Politik Selayar dikenal lugu tanpa basa-basi dan tedeng aling-aling selalu diragukan kemampuannya untuk memenangkan pertarungan politik di Selayar. Bahkan ketika maju sebagai calon Bupati Periode pertamanya tahun 2005 yang lalu ia nyaris tidak diperhitungkan, namun tiba-tiba tampil sebagai pemenang. Begitupun menjelang akhir periode kepemimpinannya; Seorang Syahrir Wahab sibuk bergerilya politik, mencari kendaraan politik untuk tampil kembali sebagai ‘calon’. Banyak pihak meragukan; beliau bakal tidak mendapatkan kendaraan politik, kalaupun ada yang bisa hanya partai ‘gurem’ yang tercecer-cecer diluar parlemen. Semua partai besar ‘menjauh’, karena nakhoda partai-partai besar tersebut adalah rival dan lawan politiknya seorang Syahrir Wahab. Tapi diakhir perebutan kendaraan Politik pada proses awal pemilukada 2010 ini, si pamong yang lugu ini kembali membuktikan keberuntungannya dengan nyaris menyapu bersih seluruh partai besar (Golkar, PAN, PKB, Gerindra, Barnas, PKS) ditambah partai-partai non parlemen yang menjadi pembuka dukungan.
Satu persatu pesaing Syahrir Wahab datang ‘membawa diri’, mempersembahkan dukungan politik; mempertontonkan makna politik yang tidak lagi dilandasi idealisme politik, tapi tak lebih dari prilaku politik transaksional yang bisa ‘dibeli dengan sejumlah rupiah’.
Setelah kemenangan Pemilukada yang diraih lewat proses yang panjang sampai berperkara di Mahkamah Konstitusi. Ternyata implikasi politik dari kepiawaian seorang Syahrir Wahab sang pamong yang beruntung ini, tidak hanya sebuah kemenangan tetapi sejumlah pembangkang dan lawan-lawan politiknya mesti siap-siap menerima resiko politik;
Sebutlah Ince Langke dan Syamsu Alam Ibrahim yang merupakan rival lama yang bersatu ‘melawan’ Syahrir Wahab, harus ‘terhempas’ kalah, bahkan Ince harus dipecat dari Partai Golkar, partai yang pernah dibesarkannya sendiri. Padahal publik paham! Kehadiran Syahrir Wahab di Golkar sebagai Ketua Dewan Pembina di masa kepemimpinan Ince Langke adalah harga sebuah deal-deal politik (dimanfaatkan dan memanfaatkan) untuk sebuah stabilitas pemerintahan;
Lalu bagaimana dengan Hulubalang dan prajuritnya politik? Merekalah yang mendapat resiko terbesar, terburuk atau terbaik. Mati berkalang tanah secara sia-sia, terinjak-injak dan terbelit ‘Gurita’ atau menepuk dada memperebutkan tanda jasa kemenangan yang dibeli secara haram.
Itulah politik sang “Gurita”. Gurita bukan personifikasi seseorang, tapi Gurita adalah personifikasi dari kata ‘politik’ itu sendiri; mencengkram, membelit dan mengangkangi kita, mengangkangi Rakyat Selayar, mengangkangi Rakyat Indonesia dan merampas hak rakyat lewat sebuah proses demokrasi; Bukankah rakyat memang telah menyerahkan kedaulatannya dibilik suara? Nah! Pantas saja kedaulatan rakyat hanya keniscayaan yang absur, adanya hanya pada saat proses dan pesta demokrasi. Setelah itu terserah! Wassalam.
*) Pendiri dan Direktur Yayasan Lembaga Study dan Pemberdayaan Masyarakat (LESDAM).
Pojok Kota Benteng
Kota Benteng sebagai Ibukota Kabupaten dari masa-kemasa mengalami perkembangan yang cukup pesat; Perkembanan akibat pembangunan infrastruktur yang dibangun pemerintah maupun perkembangan akibat bertambahnya populasi penduduk yang kian hari-kian padat membawa efek yang sangat luas. Efek sosial akibat perkembangan tersebut pastilah tidak dapat dihindarkan; Pemerintah tidak hanya ditantang untuk membangun infrastruktur fisik saja tapi infra sturktur dan regulasi yang terkait dengan non fisik pun harus menjadi perhatian serius. Hal ini penting untuk keseimbangan kehidupan masyarakat, sebab masyarakat perkotaan pasti lebih dinamis dari kehidupan masyarakat pedesaan.
Rubrik Pojok Kota Benteng Kali ini membidik suasana Pasar Sentral Benteng yang terletak di Bonea Kelurahan Benteng Utara, disamping itu kru kami juga meliput suasana pasar inisiatif masyarakat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Bonehalang dan pedagang yang memenuhi sekitar pasar lama Benteng.
Tak dapat disangkali bahwa efek dari pemindahan pasar yang “bermasalah” ini membawa dampak luas bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah; Disisi masyarakat Pasar Sentral Baru membuat mereka menjadi lebih terpuruk, Bukan saja karena tempatnya yang jauh di pinggir kota, tapi fasilitasnya juga kurang memadai kalau tidak dapat dikatakan sangat tidak memadai. Disisi Pemerintah Kabupaten, Pendapatan Asli Daerah dari retribusi pasar berkurang tajam dari sebelumnya sekitar 12 juta rupiah lebih perbulan. Pemerintah Kabupaten sudah mengupayakan berbagai cara “merayu” pedagang untuk terkonsentrasi di Pasar Baru dengan membuat berbagai kebijakan. Tapi lagi-lagi sebagian para pedagang enggan menempati pasar baru, terpaksa sebagian kios pasar baru dimanfaatkan oleh mereka yang sebelumnya bukan pedagang pasar lama, tapi mendapat jatah kios dari Pemerintah. Berikut liputannya dalam bentuk petikan-petikan wawancara dan Foto suasana “Pasar” yang ada di kota benteng.
Manajemen Pasar Perlu distrukturisasi
Ketika diwawancarai  oleh  wartawan Tapos Mahmuddin, S. Sos menjelaskan  bahwa pasar sentral baru adalah pasar tradisional yang dijadikan pasar  percontohan modern di daratan Selayar khususnya kota Kabupaten Kepulauan Selayar
Pasar ini terus di benahi, baik bangunannya maupun penataan lingkungan dan penempatan para pedagang. Walaupun pasar ini sempat menjadi perdebatan di masyarakat, pedagang maupun para konsumen. Banyak yang mengeluhkan tentang jauhnya jarak dari pusat  kota dan menyoal tentang luasnya lokasi pasar yang membuat konsumen agak bermasalah dengan para pedagang. Pasar ini diresmikan pada tanggal 10 Agustus  2009, dengan jumlah pedagang sebanyak 673, sudah termasuk pedagang yang ada di pinggiran yang tidak memiliki kios permanen.
Sebagai Kepala Pasar Mahmuddin, S. Sos mengemukakan; Untuk memperbaiki pelayanan sebaiknya Menejmen Pasar tidak lagi seperti sekarang masih UPT (unit pengelola teknis), tapi akan lebih baik jika Pengelola/menejmen pasar diangkat seorang Kepala Kantor (setingkat eselon III) sehingga pengelolaannya bisa di bagi menjadi beberapa bagian seperti Bagian Retribusi, Bagian Pelayanan dan lain-lain sebagainya.
mengenai retribusi yang harus dibayar para pedagang, Mahmuddin S. Sos mengatakan bahwa sejak pindah, Pemda mengeluarkan aturan sesuai Perda No. 14 2007 yang meliputi; Pemakaian kios baru, pembayaran retribusi, pembayaran retribusi harian dan tahunan. Dalam hal ini diputuskan bahwa para pedagang gratis pembayaran retribusi bulanan sesuai Perda No.14 2007, namun aturannya berubah mulai bulan Agustus 2009 para pedagang dikenai pembayaran retribusi sebesar Rp. 1000 kemudian diturunkan menjadi Rp. 500.
Tapi kenyataan yang Tapos temukan dilapangan justru berbanding terbalik dengan apa yang dijelaskan oleh Kepala pasar. Salah seorang pedagang menjelaskan kalau mereka membayar retribusi sebesar Rp. 2000 perhari untuk pedagang emperan (bukan kios permanen).
Ibu Suriati seorang pedagang dipasar tua, sejak pindah ke pasar sentral baru di Bonea, ibu ini mengaku bahwa dia tdk terdaftar sebagai salah satu yang bisa memperoleh kios di pasar baru, akhirnya dia menempati emperan dengan membangun bangsal sendiri yang terbuat dari kayu, bukan hanya itu, pembayaran retribusi yang dibayar setiap harinya ternyata seberas Rp. 2000, berbeda dengan penjelasan Kepala Pasar yang menyebutkan Rp. 500,-. (Tapos. RBH/Uni).
Lintas Desa
Ujung Tombak Pemerintahan di Indonesia yang langsung diatur oleh undang-undang adalah pemerintahan Kabupaten dan Desa. Otonomi Kabupaten dan Desa adalah hal mutlak untuk mempercepat kesejahteraan rakyat sebab 2 level pemerintahan tersebut nyata-nyata disebut Pemerintahan otonom, meski kadang-kadang realitasnya Pemerintah pusat dan propinsi sering mencaplok otonomi Kabupaten dengan dalih program, kebijakan dan lain-lain. Bukan hanya itu Sesama pemegang otoritas “Otonomi”pun saling meng”akali”, seperti antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah Desa. Pemerintah Desa pastilah selau berada pada pihak kalah, mengingat Pemerintah Desa memang lebih lemah dan berada pada level lebih rendah.
Tim liputan rubrik Lintas Desa Tanadoang Pos berusaha menggali perspektif, kebijakan dan harapan “Orang Desa” terhadap Pemerintahan desa dan perlakuan pemerintah Kabupaten Terhadap Desa, tak ketinggalan berita Assosiasi Pemerintah Desa yang dinakhodai Kepala Desa Jambuiya Andi Alang dengan pengelolaan keuangan yang berkategori buruk.
Terbelit Masalah, Andi Alang (Kades Jambuiya dan Ketua Apdesi) Menuding Balik Pemkab dan Para Kepala Desa
“Banyaknya Temuan bawasda atas penyalah gunaan keuangan desa ditengarai karena pemerintah Kabupaten memotong langsung tagihan Pajak yang dibebankan ke Pemerintah Desa, sebelum Kepala Desa memungutnya dari masyarakat, ketika Tapos mencari data atas temuan penyalahgunaan keuangan desa di kantor Bawasda, Sekretaris Bawasda Saharuddin enggan memberikanya dengan dalih itu sifatnya rahasia dan harus ada surat ijin Bupati”.
Ketua BPD Desa Jambuiya Muh. Saing ketika ditemui wartawan Tanadoang Pos secara blak-blakan mengemukakan kekecewaannya dengan kinerja Kepala Desa Jambuiya Andi Alang. Ketika ditanya tentang hal yang dianggap mengecewakan tersebut, “Saing” begitu Ketua BPD ini di sapa, mengungkapkan bahwa, “dari Rp. 46.000.000 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan meliputi 36 juta untuk bangunan Baruga Sejahtera, dan 10 juta rupiah termasuk anggaran PKK, olah raga, dan anggaran lainnya. Uangnya sudah dicairkan semua tapi bangunannya sama sekali belum ada sampai sekarang biarpun pondasi bangunan belum ada”.
Selain itu Saing mengungkapkan bahwa “Dalam pembagian Raskin Kepala Desa nyata-nyata pilih kasih, banyak warga Kaburu timur yang selama ini mendapat raskin kini harus gigit jari karena tidak lagi mendapat jatah”.
Selain itu sebuah sumber yang tidak mau disebutkan jati dirinya mengemukakan bahwa “Pak Desa Andi Alang Jarang Masuk Kantor karena sudah tidak berdomisili di Lembang Mate’ne, kalaupun datang hanya sebentar saja, kami kecewa berat dengan pak desa yang pilih-kasih dalam pembagian Raskin, bagaimana kami tidak katakan demikian, kalau dulu kamilah yang memperjuangkan beliau jadi Kepala Desa, sekarang kami malah dicampakkan, malah kontrak politik yang pernah ditandatangani untuk memekarkan Desa Jambuiya hanya isapan jempol. Ternyata Janji memperjuangkan Pemekaran itu hanya “tipuan” untuk memperoleh dukungan dari kami, setelah jadi Kepala Desa malah kami dikhianati”. Ketika ditanya soal harapannya terhadap Pak Desa, sumber tersebut menyampaikan “Saya tidak bisa apa-apa sebagai rakyat kecil, saya hanya memohon Pak Bupati H. Syahrir Wahab menasehati Kepala Desa kami, agar adil menjadi pemerintah jangan sampai rakyat mengira Pak Bupatilah yang memerintahkan Ketidak-adilan pembagian Raskin gara-gara beda pilihan dalam Pilkada”.
“Soal Apdesi Sebaiknya Diusut Melalui Jalur Hukum”
Seorang Kepala Desa teman sejawat Andi Alang yang juga enggan di sebutkan jati dirinya menyampaikan tentang Kepemimpinan Andi Alang sebagai Ketua Apdesi (Assosiasi Pemerintah Desa) Kabupaten Selayar “Andi Alang Hanya rajin koordinasi dengan Bupati untuk kepentingan pribadinya saja, Laporannya ABS (asal bapak senang) dengan menjual kami para Kepala Desa di depan pak Bupati, padahal dia tidak tahu mengelola organisasi, Kita para Kepala Desa diperalat jadi malas bayar Iuran Apdesi karena penggunaannya tidak transparan dan tidak pernah dipertanggungjawabkan sejak jadi ketua, kantor Apdesi yang diberikan Pak Bupati sama sekali tidak pernah terpakai, Mubassir saja bantuan pak bupati ini. Malah iuran Apdesi yang dipungut dari para kepala desa bertambah dari Rp. 500.000,- tahun 2008 menjadi Rp. 1.000.000,- tahun 2009 sedangkan program kerja yang disusun rapi dengan rapat kerja yang dibiayai mahal tidak ada realisasinya sama sekali”. “Kalau Andi Alang itu punya tanggung jawab moral terhadap organisasi para kepala desa, semestinya dia harus mundur dari Apdesi, sebab jangankan mengurus Apdesi, mengurus desanya sendiri saja saya dengar dia sudah tidak becus, saya dengar dia otoriter dan kata-katanya tidak bisa dipegang, selalu Pak Bupati yang dijual-jual kalau ada maunya baik ke kami sesamanya Kepala Desa maupun ke rakyatnya”, demikian sumber tersebut menjelaskan.
Sumber lain yang juga enggan disebut jatidirinya menjelaskan,” kalau dihitung iuran teman-teman kepala desa sejak tahu 2008; tahun 2008 berjumlah Rp. 34.000.000, tahun 2009 minimal Rp. 68.000.000, belum termasuk iuran tahun 2010 ini, jadi keseluruhan sudah ratusan juta. Terkait tuduhan ke Erna mungkin juga benar tapi itu hanya sekitar Rp. 30an juta. Lebihnya yang berjumlah ratusan juta itu tetap di tangan pengurus Apdesi. Ketua Apdesi sangat hobby bepergian Study Banding, mungkin mereka menggunakan kas Apdesi, bahkan minta juga bantuan ke Pak Bupati dengan proposal melalui pos Bantuan Sosial, sebab Andi Alang dikenal sangat pandai memanfaatkan pak Bupati dengan kedekatannya, jadi mereka dapat dua keuntungan Minta ke Pak Bupati dan Kas Apdesi”. Sumber tersebut juga menjelaskan, “sejak ada masalah, sesama pengurus Apdesi tidak harmonis lagi, mungkin karena Kas Apdesi sudah habis di korupsi, kalau mau diusut masalah ini sebaiknya di serahkan saja ke Kejaksaan, sebab kalau hanya Bawasda saya rasa tidak ada gunanya, sebab Andi Alang dikenal sangat dekat dengan pejabat-pejabat Pemkab yang pasti melindungi dia”.
Andi Alang, “Staf Yang Ditunjuk Ince Rahman Yang Korupsi”.
Ketika di konfrontir perihal temuan Badan Pengawas Daerah, Andi Alang Kepala Desa Jambuiya mengakuinya, namun balik menuding pemerintah Kabupaten-lah (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) penyebab temuan tersebut “Sudah saya cairkan dananya, tapi pembangunannya belum saya kerjakan (laksanakan), makanya Bawasda dapat temuan temuannya Bawasda Rp. 50.000.000,- lebih, dana bangunan Baruga Sejahtera itu saya pakai untuk menutupi potongan pajak”. Ketika Tapos mengkonfirmasi jumlah temuan yang tergolong fantastik untuk ukuran pemerintah Desa Andi Alang kembali menunjuk Kepala Desa Lantibongan sebagai pemegang rengking teratas penyalah gunaan keuangan versi bawasda dengan temuannya, meski enggan menyebut jumlahnya. “Lantibongan, tapi jumlahnya saya tidak tahu” demikian ungkap Andi Alang.
Soal Apdesi (Assosiasi Pemerintah Desa) yang dipimpinnya Andi Alang kembali menuding Dananya dikorupsi oleh Erna Staf titipan Pejabat Badan Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kelurahan. “Orang kontrak dan itu pak Ince (red=Ince Rahman) yang menempatkan”.
Pegawai Kontrak yang ditempatkan Ince Rahman (Kepala Bidang Pemberdayaan Desa dan Kelurahan) inilah yang menurut Andi Alang biangnya sehingga para Kepala Desa enggan membayar iuran.
Soal Kantor Apdesi yang diberikan oleh Bupati Selayar namun tidak difungsikan lagi,  Andi Alang lagi-lagi mengakui sambil menuding staf dan rekannya kepala desa yang lain yang tidak menyetor iuran sehingga tidak ada uang untuk menggaji staf, “Sudah tidak difungsikan dengan baik karena persoalan penyelewengan dana, padahal gaji-gaji dua orang staf masing-masing Rp. 500.000 dan sebagian kepala desa sudah tidak menyetor iuran”.(Ilyas)
Kepala Desa Laiyolo
Kepala Desa Laiyolo Suparman dengan wartawan Tapos memperbincangkan secara santai berbagai pembangunan di desa Laiyolo beberapa waktu yang lalu, dari perbincangan tersebut terungkap berbagai pembangunan yang telah dilakukan termasuk pembangunan fasilitas pemerintahan desa dan fasilitas yang langsung dinikmati masyarakat Laiyolo.
Kepala Desa yang berperawakan ideal dan cenderung berpenampilan Ustazd dengan ciri jenggotnya, secara normatif mengemukakan beberapa persoalan pemerintahan desa. Namun yang paling menarik adalah Pembuatan RPJM desa yang dibuat oleh aparat kabupaten. Menurut Kades muda ini seharusnya RPJM dibuat sendiri oleh Desa, “Sebetulnya kurang logis apabila pemkab yang menyusun RPJM, logisnya kalau pemdes itu sendiri yang menyusunnya”. Ketika ditanya alasan apa sehingga harus pemkab yang menyusun RPJM, Kades Laiyolo ini mengatakan, “Alasan pemerintah kabupaten bahwa tiap desa belum mampu menyusun RPJM desa secara maksimal. Padahal justru tidak maksimal kalau disusun oleh Pemerintah Kabupaten karena yang didasari hanya visi misi para kepala desa tanpa analisis dan pendalaman terhadap kondisi nyata tiap desa”. (Ilyas)

















Pulang: Titian Primordial Menuju Allah
Oleh Mohd. Sabri AR 
Direktur Lembaga Studi Agama dan Perubahan Sosial (LSAPS) dan Dosen Pascasarjana UIN Alauddin Makassar 

Tema “Pulang”, “kembali”, atau dalam tradisi Al-Qur’an, raja’a dengan berbagai derivasinya: yarji’u, irji’i, raji’un dan seterusnya, memiliki makna sangat dalam. Sebab, sejatinya, hanya orang yang tahu asal usul (the Origin) yang bisa pulang atau kembali. Karena itu, tradisi keruhanian Islam memandang begitu penting seseorang mengasah ingatan primordialnya, guna menapaki jejak-jejak “kembali” ke asal.
Dalam permenungan philosophia perennis, manusia primordial dipandang sebagai the pontiff atau pontifex, yang secara harfiah bermakna “perantara” atau “jembatan” antara dunia-langit dan dunia-bumi. Karena itu, dalam perspektif perennial, manusia hidup dalam dunia “asal” dan dunia “pusat” sekaligus. Sepanjang hayatnya, manusia primordial, hidup dalam siklis dan terus menerus berusaha untuk mencapai pusat kesadaran dan pusat keruhanian dirinya. Di sini, manusia pontifex hidup dalam sebuah kesadaran tentang realitas spiritual yang menjadikan dirinya melampaui wilayah “dunia”.
            Kaum perennialis belakangan ini kian gencar menggali dan mengenalkan kembali konsep manusia-primordial. Sebab, salah satu krisis paling serius yang dihadapi manusia modern adalah: mereka telah kehilangan apa yang dalam tradisi filsafat disebut sebagai meaning and purpose of life (makna dan tujuan hidup) yang sejati. “Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya,” tulis seorang arif, “Karena ia telah lupa siapa dirinya sesungguhnya.” Meski demikian, tidak dengan sendirinya berarti jika manusia modern telah kehilangan horizon spiritual, tetapi lebih karena manusia modern dalam kategori perennial, “telah memilih hidup di pinggir lingkaran eksistensi.” Manusia modern melihat segala sesuatu “hanya” dari sudut pandang pinggiran eksistensinya itu dan bukannya berpijak pada pusat spiritualitas dirinya. Salah satu penyebab kejatuhan manusia modern adalah: karena manusia  telah kehilangan atau mengabaikan “pengetahuan langsung” tentang dirinya dan bergantung kepada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya.
            Dalam perspektif modernitas, manusia cenderung diposisikan sebagai “ciptaan dunia-bumi ini” (a creatur of this world). Karena itu, ia betah tinggal di bumi dengan pandangan artifisial yang dibangunnya sendiri, yang memesona, dan berujung pada ini: tertampiknya Tuhan dan realitas spiritual dalam kehidupan mereka. Agaknya positivisme, sebagai tonggak peradaban modern, telah berhasil meneguhkan manusia sebagai sekadar manusia-bumi, dan mengoyak langit suci. Awal dan akhir sebuah peradaban adalah materi. Karena itu, usah lagi mempercakapkan dunia makna, ontologi, maupun metafisika. Pendeknya dunia spiritual, adalah dunia palsu dan wadah pelarian manusia-manusia kalah.  Namun, pada akhirnya manusia modern juga merasakan kecemasan dan “keterpenjaraan” dirinya dalam sekat-sekat kehidupan material. Tiba-tiba ada sejenis kebutuhan lain yang mengemuka: mereka rindu tentang “yang sakral” (the sacred) dan “yang abadi”, meski dimanifestasikan dalam 1001 cara untuk memuaskan kegundahannya itu: melahap novel-novel psikologis, X-Files, sampai kepada praktik pseudo mistik yang dianggap sebagai penawar. Fenomena itu, oleh sementara pihak dipandang sebagai “New Age” yang mencirikan pesatnya perhatian manusia modern terhadap dunia spiritual. Semboyan yang ditulis John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000: “spirituality, yes; organized religion, no” kian meneguhkan gejala tersebut.
            Sejatinya, keterpanggilan manusia untuk selalu menyucikan ruhaninya pada urutannya melahirkan naluri kuat untuk “kembali ke Asal”. Dalam kajian Seyyed Hossein Nasr, filsuf Muslim yang menekuni perspektif perennial, keterpanggilan untuk selalu “kembali ke Asal” tidak semata terjadi pada manusia tetapi seluruh alam ini. Naluri alam untuk “kembali ke Asal” menuju Tuhannya menyebabkan adanya gerak siklis. Seluruh alam bergerak siklis: bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari beredar mengitari galaksi, galaksi mengitari sehimpunan galaksi yang lebih besar, dan seterusnya.  Gerak siklis “memusat-melingkar” secara counter clock ways (berlawanan arah jarum jam) yang mirip tawaf dalam tradisi haji, itu pada urutannya berakhir pada titik pusat “Kesadaran Eksistensi” , “alfa-omega” segala yang  ada, yang dalam teologi disebut sebagai Tuhan. Ini pula makna esensial firman Tuhan: Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un: “sungguh kita semua dari Allah, dan hanya kepada Allah kita “kembali”.
            Ilustrasi di atas di samping menagaskan jika hanya dengan berjalan “mundur” seseorang dapat dengan mudah menemukan kembali jejak-jejak titik berangkat dan asal usulnya, juga secara simbolik menyiratkan pesan tentang adanya “tingkat-tingkat realitas” (the levels of reality) pada kosmik yang bersifat hirarkis. Eloknya, dunia hirarkis justeru dijumpai pula dalam diri-manusia (the levels of selfhood). Di sini alam menjadi “cermin” bagi manusia, dan sebaliknya. Huston Smith, dalam karyanya The Forgotten Truth: the Common Vision of the World’s Religion (1992)  menggambarkan hal itu secara sangat mengagumkan.
Sementara itu, E.F. Schumacher menyebut ilustrasi di atas sebagai “the hierarchy of existence” (tingkat-tingkat eksistensi): mulai dari Tuhan pada tingkat tertinggi dan tak terhingga (Infinite) hingga manusia dan makhluk/benda-benda “di bawah” manusia. Atau sebaliknya: dari benda-benda mati (terrestrial) di tingkat paling “rendah” hingga Tuhan pada tingkat tertinggi.
Dari perspektif ini kemudian lahir kesadaran tentang doktrin “persaudaraan kosmik” antara alam (macrocosmic) dan manusia (microcosmic) yang demikian kuat. Dengan kata lain, terdapat “senyawa” erat hirarki-kosmik dalam hirarki-manusia: alam benda (terrestrial) bersenyawa dengan tubuh (body); alam-cakrawala (intermediate) dengan pikiran (mind); alam-langit (celestial) dengan jiwa (soul), dan “alam-tak-terhingga” (infinite) bersenyawa dengan ruh (spirit) manusia.
Setiap persenyawaan hirarki tersebut memperlihatkan kualitas sejati manusia. Manusia “bumi” misalnya, adalah kualitas manusia “body” yang orientasi dan tujuan hidupnya berujung pada pemenuhan sifat-sifat bumi: bendawi, materil, dan sesaat seperti; makan, minum, hubungan sex, haus kuasa, dan seterusnya. Bahkan fenomena posmodernitas tentang gejala narsisme, yakni paham “pemujaan terhadap tubuh,” kian meneguhkan pandangan tersebut. Di sini tubuh menjadi sebuah “industry” yang harus dipenuhi kebutuhannya, agar setiap orang terpesona dan jatuh cinta pada dirinya sendiri perdetik. Selanjutnya, manusia “cakrawala,manusia yang mampu menggunakan potensi pikirnya merespons dan merumuskan makna hidup dan alam secara proporsional.  Manusia “langit” adalah manusia yang jiwanya telah diselimuti cahaya. Mereka inilah yang dalam tradisi filsafat disebut manusia “tercerahkan”. Manusia kualitas ini diberi potensi oleh Allah untuk menembus “masa depan” melalui mata-langitnya yang cerah. Sementara manusia “ruh” adalah manusia yang telah didominasi dan diliputi oleh cahaya ruhani, spirit yang bersifat Ilahi: faidza sawwaituhu wa nafakhtu fi hi min ruhi. Karena ruh adalah imago Dei, maka hanya dia pula yang potensial berjumpa dengan Allah. Manusia-ruh, karena itu, adalah manusia “tak terhingga”, tidak meruang-tidak mewaktu. Manusia yang telah “lebur” secara eksistensial dalam keabadianNya. Kualitas  manusia ruh adalah manusia-suci yang tidak lagi terpenjara oleh syahwat bendawi, tidak terpesona pemikiran rasional, tidak tercekik oleh jiwa yang galau. Dengan kata lain, manusia-ruh adalah manusia yang berjalan “dengan” dan “di dalam” Allah: setiap prilaku, pikir, dan tuturnya memantulkan kebenaran, pencerahan, kedamaian, dan keselamatan, karena seluruh eksistensinya tak lain dari “pantulan” Allah. Dengan kata lain: manusia-ruh adalah “citra Ilahi” di bumi. Dialah manusia pontifex itu, manusia yang senantiasa mengikatkan hatinya “ke langit” sembari mengusung kesadaran kokoh: bahwa ia harus segera “kembali” karena di dekat kakinya, “di bumi”,  menunggu sejumput amanah yang mesti ditunaikan.
Pulang, karena itu, semata bukan urusan orang-orang yang ingin pulang, tapi juga mereka yang mau berangkat!
Wallahu A’lam Bisshawab.


Rubrik Pendidikan
Pendidikan Gratis
H. MAKKARA, S.Pd. KEPALA SDN PARIANGAN KECAMATAN BONTOSIKUYU
H. Makkara, S. Pd Kepala SDN Pariangan Kecamatan Bontosikuyu ketika di temui Wartawan Tapos mengemukakan tentang Personil sekolah yang dipimpinnya terdiri dari; jumlah Murid 248 orang, Pegawai Negeri Sipil 12 orang, Guru Honor 7 orang, bujang sekolah 1 orang. Ketika ditanya sekitar Anggaran untuk murid, pak Haji demikian kami memanggil menjelaskan bahwa pembiayaannya meliputi: Pengadaan buku pelajaran, buku tulis, pulpen ATK. Sedangkan untuk Gaji honor Rp.200.000,-/bulan serta dengan gaji bujang yang diambil dari anggaran Dana BOS. Pengadaan buku tulis, buku pelajaran, pulpen termasuk biaya trasportasi siswa yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah ada 3 orang yang biayanya Rp.100.000,-/orang dan siswa menerimanya setiap 3 bulan, Termasuk pengembangan profesi guru, pendanaan ATK, perawatan sekolah, bangunan pagar termasuk pengerutan lapangan upacara sekolah sebab tanahnya kemiringan.
Soal besaran Dana yang di terima apakah mencukupi atau tidak diakuinya masih kurang namun tentu kita penuhi secara bertahap dan buku pelajaran yang belum terpenuhi siswa bisa foto copy di kantor sekolah, sedangkan pendanaan yang lain dialihkan ke pendidikan gratis dan sebaliknya saling menunjang. Ini inisiatif saya mengambil kebijakan. Karena yang tidak dianggarkan di BOS diambilkan di pendidikan gratis, demikian juga sebaliknya. Itu adalah inisiatif saya sendiri karena saya menginginkan sekolah ini bagus dan mau maju sampai lapangan upacarapun saya ambilkan eskapator untuk dikeruk agar menjadi datar. Saya sudah lupa berapa biaya keseluruhan karena pendanaannya bertahap.
Soal penerima beasiswa miskin pak Haji merinci, “ada 48 orang
Perorang Rp.360.000, namun sejujurnya mereka hanya menerima RP.350.000,-/orang, Karena adanya biaya administrasi Rp.10.000, namun ada kesepakatan dari orang tua siswa.(Tia/Juf)

Nur Asia, S. Pd Kepala SDN Padang
Ditemui wartawan Tanadoang Pos, Nur Asia, S. Pd secara gamblang menjelaskan perihal Pendidikan Gratis berikut petikannya;
Tapos: Bagaimana menurut ibu Pendidikan Gratis itu
Nur Asia (NA): Pendidikan Gratis sangat membantu pihak sekolah (guru-guru juga para murid)
Tapos: Bagaimana Contohnya bantuan untuk siswa
NA: Misalnya pembelian baju olahraga dari kelas 1 sampai kelas 6 tanpa kecuali, diambilkan dari anggaran pendidikan gratis namun pengadaannya kita lakukan secara bertahap sesuai pencairan.
Tapos: Kalau untuk para guru?
NA: Untuk para guru ada insentif mengajarnya, adalagi tambahan dana Bos di pendidkan gratis itu kita gunakan untuk beli baju seragam untuk anak-anak yang tidak mampu termasuk sepatu dan tas.
Tapos: Apa memang itu tujuan dana pendidikan gratis
NA: Iya, untuk Guru dan Murid
Tapos: Apa ada Petunjuk khusus untuk penerapannya di sekolah atau hanya kebijakan Pimpinan sekolah saja?
NA: Ada Pedoman khusus dan itu dikelola oleh bendahara sekaligus pembagian untuk pencairannya. Namun untuk penggunaan dana, hal ini dirapatkan terlebih dahulu dengan guru-guru.
Tapos: Apa di juknis ada untuk pengadaan pakaian dan lain-lain
NA: ada, di juknis itu ada pos untuk baju olahraga, alat tulis, baju seragam.
Tapos: Bagaimana menurut ibu tanggapan masyarakat dengan adanya dana pendidikan gratis ini?
NA: Mereka sangat senang dan berterimakasih, soalnya sebelum ada dana gratis mereka membeli sendiri baju olahraga tapi setelah adanya pendidikan gratis, pihak sekolah sudah membelikan baju olahraga untuk anak-anak termasuk baju seragam. Kita katakan kepada mereka baju itu gratis dari dana pendidikan gratis.
Tapos: Masih adakah pungutan-pungutan dari pihak sekolah?
NA: Sudah tidak ada lagi setelah adanya dana pendidikan gratis. Karena adanya dana pendidikan gratis ini maka anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu sudah bisa sekolah lagi. Memang siswa/ orang tua siswa merasakan secara langsung adanya dana pendidikan gratis ini.
Tapos: Bagaimana tanggapan guru-guru?
NA: Guru-guru juga sangat merasakan adanya dana pendidikan gratis ini. Mereka lebih aktif lagi, lebih rajin lagi karena ada insentif mengajar dari dana pendidikan gratis ini. Yang tidak masuk mengajar dipotong insentif mengajarnya atau diberikan kepada yang menggantikannya.
Tapos: Disekolah ibu biasa diadakan les sore?
NA: Iya, apalagi saat-saat menghadapi semester 2 bulan atau untuk penaikan kelas diadakan 3 bulan. Ini tidak dilakukan begitu saja, tapi diberikan insentif mengajar dengan dana pendidikan gratis.
Tapos: Bagaimana perbandingannya sebelum ada pendidikan gratis?
NA: kalau sebelum ada dana pendidikan gratis, kita punya gaji terbatas dan harus mencari sampingan, setelah adanya dana pendidikan gratis kita bisa les sore karena ada yang diharap dari dana pendidikan gratis, tidak perlu mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.
Tapos: Bagaimana kaitannya dengan Mutu Pendidikan?
NA: Ada peningkatan diatas 50%. Karena guru-guru lebih rajin, lebih giat karena adanya dana gratis untuk insentif mereka. Kita merasa berterima kasih kepada pemerintah dengan adanya pendidikan gratis ini. Dulu masyarakat cuek dengan sekolah sebab anak-anaknya harus membayar, harus membeli buku paket, buku tulis dan pulpen, pakaian olah raga dan lain-lain. Dengan adanya program pendidikan gratis ini orang tua siswa sudah sangat peduli dengan pendidikan karena tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk buku paket, buku tulis, pulpen, baju olahraga karena sudah digratiskan oleh pihak sekolah.
Tapos: Bagaimana beban tanggungjawab ibu sebagai kepala sekolah sebelum dan sesudah adanya dana pendidikangratis ini?
NA: Saya baru satu tahun di sini jadi kepala sekolah menggantikan bapak yang diangkat menjadi kepala UPT Bontoharu sekarang. Bapak kepala Sekolah yang dulu juga bagus, setelah adanya dana pendidkan gratis ini banyak perubahan baik dari siswa maupun dari pihak guru. Memang dana pendidikan gratis sangat membantu.
Usai mewawancarai ibu Nur Asia, S. Pd kepala SDN Padang tim peliputan Tapos mencoba melakukan kross chek ke lapangan dengan menemui orang tua murid; Ternyata memang apa yang dijelaskan oleh Kepala Sekolah SDN Padang benar adanya seperti petikan keterangan orangtua murid bernama Pak Darmawan dan Ibu Mardiana (orang tua murid SDN Padang), “Kami sangat gembira dengan adanya Pendidikan Gratis ini, sebab di sekolah tidak adalagi pembayaran, anak-anak malah mendapat les tambahan menjelang ulangan atau ujian, kami liat pendidikan gratis memang bisa meningkatkan mutu pendidikan kita”.(sal/tia)

ABD. RAHMAN, S. Sos, S. Pd. (KEPALA UPT DIKNAS BONTOMANAI)
Saat kru Tapos memperbincangkan seputar Pendidikan Gratis Abdul Rahman, S. Sos, S. Pd menjelaskan; “Sasaranpendidikan gratis adalah untuk peningkatan mutu. Kalau 2008 yang lalu kami mendapat SK Bupati sebagai anggota Tim Teknis Pengendali Program Pendidikan Gratis Kab. Di dalam SK itu, tidak ada semacam perintah tertulis secara terpadu. Hanya secara jabatan saya merasa bertanggung jawab dalam hal pelaksanaannya. Pelaporannya pun tidak ke saya, tapi langsung ke Dinas di Kabupaten. Tapi kita punya kepedulian supaya dana itu tepat sasaran. Kalau kita ke lapangan hanya sebatas menanyakan hal-hal mekanisme penyusunan anggaran, tidak masuk ke dalam bagaimana pengelolaan dan pertanggung jawabannya. Istilahnya hanya bagian luarnya saja, kalau sudah bagus polesannya ya oke.
Sejauh ini untuk masyarakat Bontomanai belum ada keluhan, sebab kita dan pihak sekolah setiap mengadakan rapat maka kami selalu menyampaikan ke masyarakat bahwa dana pendidikan gratis ini, yang terkait dengan personalnya (red=siswa) masih tanggung jkawab orang tua. Yang terkait dengan yang bukan personalnya itu yang dibiayai oleh pemerintah.
Mari kita mengawal dana-dana dari pemerintah, sehingga harapan-harapan  kita ke depan bisa tercapai. Maksudnya UPTD selama ini hanya merupakan transit informasi dari atas ke bawah dan sebaliknya; kalau bisa UPTD diberikan kewenangan yang lebih luas dan bukan sebatas tempat transit informasi.(sal/tia)
KETUA KOMITE SD LEMBANG JAYA
Program Pendidikan Gratis Sangat membantu orang tua siswa karena bagi yang kurang/ tidak mampu sangat membantu orang tua siswa tersebut. Contoh: Sepatu, buku paket disediakan oleh sekolah karena mungkin tidak bisa beli sepatu, buku paket dan lain-lain. Disamping itu Program Pendidikan Gratis juga meringankan tugas komite karena yang seharusnya komite bersosialisasi mencari siswa,  tapi sekarang para orang tua beramai-ramai mendaftarkan anaknya sekolah karena sudah tidak ada beban pembayaran, paling untuk jajan anak sekolah saja, kita Orang tua bahkan siap membantu pihak sekolah dengan cara berswadaya. Ini pernah kami lakukan untuk membangun pagar sekolah walaupun program tersebut batal oleh karena sudah dianggarkan oleh pemerintah kabupaten, sehingga kami tetap melanjutkan dengan membuat jalan rabat masuk ke sekolah. Yang pasti masyarakat tidak keberatan memberi bantuan yang penting pihak sekolah selalu transparan. Yang namanya masyarakat, apalagi masyarakat pedalaman yang masih awam, susah sekali memahami apa itu pendidikan. Beda dengan masyarakat kota yang sudah intelek. Tetapi Alhamdulillah justru mereka sudah mulai memahami dengan alasan kalau kita tidak sekolah, maka anak-anak harus sekolah walaupun masih ada juga sekitar 30% yang belum memahami. Kalau di desa kami ini, masyarakat tidak terlalu kaku untuk masalah pembayaran yang penting melalui musyawarah dengan sekolah, komite dan orang tua siswa. Di desa ini, tingkat partisipasi masyarakat untuk berswadaya sangat tinggi. Saya sangat mendukung program ini karena sangat membantu orang tua siswa”. (tia/juf)
Apa Kata Mereka
Pasca Pemilukada Selayar bulan Juni yang lalu, masyarakat Selayar berharap-harap cemas terhadap pasangan terpilih Drs. H. Syahrir Wahab, MM dan H. Saiful arif, SH; Harapan besar untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Selayar dan “kecemasan” akankah Bupati dan wakil Bupati terpilih memenuhi janji-janjinya?
Berikut petikan wawancara kru Tanadoang Pos dengan berbagai sumber terkait Harapan, kecemasan dan unek-unek masyarakat terhadap pemerintahan Syahrir-Saiful.
Ust. Swandi (Toko Agama)
Ketika ditanya  soal proses pelaksanaan pilkada Ustazd muda ini mengatakan, “Secara obyektif jangankan di Selayar bahkan di seluruh Indonesia kita tahu bahwasanya semuanya membuat peluang kecurangan dan itu kita tahu semua, kita hanya berharap kepada pasangan terpilih supaya bagaimana bisa memberikan suasana yang lebih baik dari pada sebelumnya. Misalnya; Pembangunan dan pembinaanan keagamaan yang cukup meningkat. Selain itu kita harapkan ke depan Pak Syahrir harus betul-betul menempatkan orang atau pejabat yang menguasai bidang tugasnya.(Apr)
Nara Sumber : H. Mahmuddin Kebo (Tokoh Masyarakat)
Secara umum pelaksanaan Pilkada sudah baik dan didoakan ke depan menjadi lebih baik. Di samping pembangunan fisik; Pak Syahrir juga harus mengutamakan pembangunan-pembangunan yang bernapaskan Islam supaya berkahnya banyak. Menurut penilaian saya, semuanya berjalan dengan baik tapi itu biasa-biasa saja. Pembangunan Kesejahteraan masyarakat dan pembangunan Keagamaan harus lebih ditingkatkan lagi.(Apr)

Dr. Marjani Sultan, M. Si (Birokrat)
Dalam suasana Lebaran yang masih kental, kru Tapos bersilaturrahmi ke rumah dinas DR. Marjani Sultan, M. Si. memperbincangkan tentang Pembangunan Perikanan dengan Kadis Perikanan, DR. Marjani Sultan, M. Si. Ketika ditanya soal Bupati terpilih Marjani Sultan dengan diplomatis menjawab, “saya ini Aparat Pemerintah jadi kurang etis kalau memberi penilaian”, “tapi selaku masyarakat kita berharap pasangan bupati/wakil bupati terpilih mereka komitmen dan konsisten dengan Visi-misinya yaitu Selayar sebagai kabupaten maritim yang mapan mandiri dan berkelanjutan. Kabupaten maritim harus memiliki mempunyai Perhubungan laut yang memadai, Industri perikanannya maju minimal ada industri perikanan contohnya pengalengan ikan”. Ditanya soal apa yang dilakukan Pak Bupati lewat instansi yang dipimpinnya, Marjani menjawab; “Pak Bupati Punya visi yang bagus dalam bidang perikanan dan kelautan dan perkembangan perikanan cukup signifikan, buktinya beberapa tahun terakhir pak Bupati membagi sekitar 1700 mesin tempel (mesin ketinting) sehingga masyarakat nelayan yang tidak menggunakan mesin sisa 400/500 orang”, ini pembangunan perikanan di hulu, di hilirnya adalah pembangunan perikanan pasca panen program berikutnya”. Soal pemasaran hasil tangkapan nelayan Pak Kadis ini secara ringkas menjawab. “Kita tidak pernah persoalkan itu, mau dipasarkan kemanapun tak masalah, karena tidak penting, yang penting nelayan kita sejahtera”.
Menurut Doktor perikanan ini, program boleh bagus tapi mesti disertai anggaran yang memadai. Olehnya itu beliau berharap agar dalam hal penganggaran dapat di support lebih lagi, “kita berharap teman-teman di DPRD sevisi dengan kita dalam memahami pembangunan perikanan, sebab tidak jarang program kita dikorbankan gara-gara tarik menarik kepentingan; Kedepan kita sudah canangkan 4 program andalan yaitu; Selayar sebagai pusat budidaya ikan karang, pembangunan kawasan perikanan terpadu, Padang sebagai Kota Perikanan dan Pariwisata yang dana pembangunan jalan pesisirnya (Padang-Benteng lewat pinggir pantai) sementara diusahakan dari pusat melalui dinas PU dan Peningkatan produksi Perikanan”.
Soal investor perikanan yang belum bisa digairahkan, sahabat Dr. Rokhmin Dahuri mantan Mentri Kelautan dan Perikanan ini menjelaskan, “Investor itu mudah untuk digairahkan dengan cara. Pertama Kita mempermudah Regulasi atau perijinan, kedua Infrastruktur kita sudah memadai misalnya pasokan listrik dan lain-lain dan ketiga Keamanan. Kalau ketiga syarat ini bisa kita adakan maka otomatis investor akan berlomba-lomba berinvestasi perikanan di Selayar”. Demikian kuncinya. (Hah/Apr)

Nantikan Tanadoang Pos Edisi November 2010
Rencana Berita Investigasi
1.   Pejabat Eselon Yang Dinilai Tidak Layak Lagi Masuk Ke Kabinet Syahrir Saiful.
2.   Modus Operandi Jual Beli Proyek Dikalangan Pejabat
3.   10 Kepala Desa Terkorup Di Kabupaten Selayar
4.   Sekolah bermasalah; “Dana Bos, Pendidikan Gratis Tidak Tepat Sasaran”
Rencana Berita Analisis dan Opini
1.   Kabar dari Kawasan Taka Bonerate; Distribusi Bahan Peledak, Benarkah diorganisir oleh oknum Aparat? “Masyarakat Tetap Dikorbankan!”
2.   Kabinet Baru Syahrir-Saiful “Antara Propesionalisme, Jasa Politik Dan Balas Dendam”.

1 komentar: